BIOGRAPHY

Wahyu Aditya
Menghujani Negeri Dengan Animasi


”Ia membuktikan ke publik, kreativitas punya nilai ekonomi dan idealisme,” ungkap produser film Mira Lesmana usai mengganjar penghargaan International Young Creative Entrepreneur of The Year (IYCEY) kategori Screen 2007 kepada Wahyu Aditya. Penghargaan yang ditukangi British Council ini diberikan kepada pengusaha muda yang sukses menekuni “bisnis kreatif” di bidang film.

Prestasi itu masih berlanjut. Setelah menang di tingkat nasional, Adit mewakili Indonesia ke ajang serupa di tingkat dunia. Dipusatkan di Apollo Theatre West End, London, perhelatan diikuti wakil dari kawasan lain—sebagian besar datang dari negara berkembang, seperti Brazil, Polandia, dan Nigeria, tapi ada juga yang asal China, dan bahkan India, negara produsen film tersubur sejagat.

Di sana, Adit kembali memukau. Ketiga juri yang terlibat, Pauline Burt (Wales Film Agency), Satwant Gill (Kepala Film British Council), and Duncan Kenworthy (produser film Love Actually) mengakui kepiawaian Adit mengawinkan antara bisnis dan idealisme seni. Anak muda kelahiran Malang, 4 Maret 1980, ini pun dinyatakan berhak mendapatkan penghargaan IYCEY tingkat dunia. Selain itu, ia juga mendapat dana proyek senilai 7.500 poundsterling. “Uang akan saya pakai untuk mengirim tiga staf belajar animasi di Inggris,” ungkap Adit bangga.

Adalah HelloMotion yang mengantar Adit meraih itu semua. Kursus animasi ini ia dirikan pada 2004 di wilayah Tebet, Jakarta Selatan. Idenya waktu itu ialah ingin menciptakan semacam pusat pengembangan animasi nasional. Lulusan terbaik Raffles KvB Institute of Tech., Australia, ini bermimpi besar ingin melahirkan tenaga-tenaga andal yang mampu melahirkan karya sekaliber film Disney atau Warner Bros.

Mimpi itu memang belum kesampaian, tapi bukan berarti HelloMotion sepenuhnya gagal. Sampai 2008, kursus kilat 20 sesi ini telah berkembang menjadi salah satu penyuplai tenaga animasi terbesar di Indonesia dengan jumlah lulusan mencapai 600 orang. Sebagian alumninya tersebar di televisi-televisi swasta, membuat iklan dan materi promosi. Sebagian lagi berkarier di rumah-rumah produksi. Firman Widyasmara, pembuat video klip animasi ”Bukan Aku” untuk grup musik the Titans, adalah salah satu jebolannya yang lumayan sukses.

Selain membuka kursus, HelloMotion juga punya lini usaha rumah produksi. Belum menghasilkan film layar lebar memang, tapi beberapa karyanya cukup diakui komunitas film di Indonesia maupun Asia. Pada 2004, Adit meluncurkan film ”Stop Human Cloning” dan ”Tahi Sapi atau Bukan”. Sejumlah penghargaan bergengsi yang diraih antara lain Film Pendek Terbaik di Jakarta International Film Festival (Jiffest) 2004; Finalist Short Shorts Film Festival 2004 di Jepang; dan Finalist Asiana Film Festival 2005 di Korea Selatan.

Adit juga pernah menggarap video klip ”Bayangkanlah” dari grup musik Padi. Klip animasi yang bercerita tentang konflik sosial dan pemanasan global itu berhasil menyabet dua penghargaan di Video Music Indonesia 2002: Best Video Clip of The Month dan People Choice Award. Setelah itu, Adit juga sempat membuat video klip untuk grup musik Cokelat, Boomerang, dan Tipe-X.

Di luar catatan sedap itu, sebagai sebuah unit bisnis, HelloMotion juga merupakan perusahaan yang subur. Kuota kelasnya selalu penuh terisi 40 siswa, ditambah daftar-tunggu mencapai 30 orang. Jumlah jurusan yang ditawarkan juga berkembang. Jika di awal hanya punya tiga pilihan program studi, yakni animasi, motion graphic, dan digital movie, maka sejak 2007 sudah bertambah satu: editing.

Seiring derasnya peminat, keuntungan perusahaan pun terkerek naik. Untuk tahun 2008, omzet kursus bertarif Rp 3,8 juta per jurusan ini sudah menyentuh angka Rp 1 miliar per tahun, naik dari Rp 800 juta tahun sebelumnya. Kontribusi terbesar datang dari bisnis kursus, sisanya dari lini rumah produksi. Pencapaian inilah yang dimaksud juri IYCEY sebagai ”kesuksesan mengawinkan bisnis dan idealisme.” Atau dalam bahasa lainnya: idealisme yang menghasilkan uang.

HelloMotion juga telah memberi kontribusi penting lain: menebarkan kecintaan pada animasi. Adit mengajak siapa saja, asalkan menyukai seni (dan mau membayar biaya kursus tentunya), untuk menekuni animasi. Adit berpikir, dengan kian banyak orang yang terlibat, maka karya-karya besar pasti akan lahir, dan seiring dengan itu, iklim industri untuk menghargai animasi pun terbangun. Tak heran, profil peserta kursusnya amat beragam; ada mahasiswa, guru, pengangguran, koki, sampai konsultan pajak.

Untuk menarik khalayak, strategi yang ditempuhnya lumayan jitu: menggeser persepsi bahwa animasi itu sulit. ”Animasi bukan barang eksklusif,” jelas Adit yang pernah meraih delapan penghargaan sekaligus pada Festival Animasi Indonesia 2005 ini. ”Seperti karya seni yang lain, animasi bisa dipelajari.” Karena itulah, ia tidak mensyaratkan para peserta kursus memiliki keahlian menggambar. Bisa saja, suatu karya animasi hanya berisi mozaik dari potongan gambar-gambar. Atau bisa juga sekadar tulisan-tulisan lucu berseliweran. Di sini, keahlian menggambar jadi tak penting. Bagi Adit, yang terpenting adalah ide. Dan, tentu saja, imajinasi.

Gotot Prakosa, ketua program Artistik dan Animasi Institut Kesenian Jakarta mengatakan, Adit telah meluruskan pemahaman keliru di masyarakat tentang animasi. Sesuai arti katanya, animasi berarti ”menghidupkan”, yakni membuat imaji hidup di pikiran penonton. Jadi, animasi tidak melulu berarti kartun tiga dimensi buatan komputer. Ini yang banyak salah dimengerti orang. Banyak film Hollywood memadukan antara gambar grafik dan objek hidup, sehingga batas antara animasi dan bukan menjadi kabur. ”Adit membuka wawasan orang tentang animasi,” jelas Gotot yang juga ketua Asosiasi Animator Indonesia (Anima) ini.

Untuk lebih memacu lahirnya karya-karya segar, Adit juga menggagas HelloFest, semacam festival animasi nasional. Ajang perdananya dimulai pada 2004 dengan mementaskan total 50 karya di hadapan 500 pengunjung. Ini bukan tugas yang mudah bagi Adit. Awalnya, festival hanya dirancang sebagai malam kelulusan para peserta kursus, tapi kemudian peminatnya meluas. Alhasil, dana acara pun jadi membengkak. Untuk menyiasatinya, ia meminjam gedung milik PDIP yang terletak tak jauh dari rukonya.

HelloFest kini menjadi wadah para animator yang ingin mempertontonkan karyanya. Memang belum ada film layar lebar yang lahir dari sini, tapi setidaknya dari segi kuantitas, HelloFest terus menjala banyak karya. Di 2007 saja, total karya yang masuk mencapai 150 buah, dengan jumlah peserta mencapai 3.000 orang, ditambah 10 ribu lagi yang terjaring dalam road-show ke kampus-kampus di daerah. Acara juga sudah tidak lagi digelar di kantor PDIP, tapi sudah bisa menyewa gedung pertemuan yang lebih mewah.

Indonesia punya enam sampai delapan festival animasi. Tapi, dalam urusan konsep acara, sepertinya tak ada yang “segila” HelloFest. Di sini, para pesertanya—yang didominasi para maniak kartun, game, dan film—dibiarkan tampil ekspresif memakai kostum para tokoh dunia hayalan. Jadi, jangan heran, jika di dalamnya kita bisa menemukan Son Go Ku, Darth Vader, atau Gaban. ”Mereka adalah orang-orang yang tadinya tinggal di dalam gua,” ungkap Adit yang juga fans tim sepakbola Arema Malang ini.

***

Jiwa seni tumbuh natural dari diri Adit. Sejak kecil, ia dikenal sebagai anak yang kecanduan menggambar. Saat guru menjelaskan pelajaran, ia menggambar. Pulang sekolah, ia segera lari ke kamar untuk menggambar. Dan jika ada kegiatan luar kelas yang diikutinya, itu pasti lomba menggambar. Begitu seringnya mengikuti lomba hingga Adit sudah hafal trik yang diperlukan untuk menang: ”Untuk di daerah Malang, gambar yang pasti juara ialah yang bertema Pasukan Kuning, Reog Ponorogo, dan polisi.”

Pahlawannya waktu kecil adalah Pak Tino Sidin (almarhum). Adit saban minggu menonton program menggambar di TVRI yang diasuh oleh pria yang sering berkata “bagus” itu. Ia mengaku belajar banyak tentang teknik dasar menggambar darinya. Meski begitu, ada satu yang disesalkan Adit: gambar kirimannya tak pernah sekalipun ditampilkan di televisi. ”Mungkin karena saya dari Malang, jadi selalu masuk urutan terakhir,” tuturnya.

Saat kelas enam SD, ia sudah menciptakan majalahnya sendiri. Namanya Sinoe. Sirkulasinya cuma satu eksemplar. Pembacanya teman-teman di kelas, dioper dari satu meja ke meja lain. Meski “ecek-ecek”, tapi konsepnya dibuat serius, ada halaman muka, rubrik, iklan, bahkan kuis berhadiah. Bedanya dengan majalah umum, semua isinya ditulis memakai pulpen. Salah satu komik Sinoe yang jadi favorit di kelas ialah ”Enam Sekawan”, berkisah tentang petualangan enam orang anak. ”Karakternya adalah para preman di kelas,” ungkapnya. ”Mereka bangga dibuatkan komik, gara-gara itu, aku jadi punya beking.”

Berahi seni yang meluap-luap itu memang kadang bermanfaat. Sewaktu berkuliah di Sydney misalnya, ia pernah nyambi membuat logo perusahaan laundry, yang kebetulan milik seorang pengusaha kos-kosan. Adit pun mendapat bayaran berupa gratis satu bulan indekos di tempatnya. Tapi, ada kalanya jiwa seninya membawa sial. Pernah suatu ketika (masih di Sydney), ia mendesain kartu-kartu ucapan lalu menjualnya di lapangan terbuka dekat Opera House. Baru saja menggelar tikar, Adit sudah dikejar-kejar kamtib setempat.

Karya perdana yang melambungkan namanya ialah Dapupu Project. Film animasi berdurasi dua menit ini ia buat saat belajar di jurusan Interactive Multimedia, KvB Institute of Tech. (namanya kini berganti jadi Raffles College). Ceritanya seputar ayam, robot, dan telur—mungkin sulit dimengerti, tapi kualitas grafisnya apik. Lulus kuliah, Adit iseng mengirimkan Dapupu ke Pekan Komik dan Animasi Nasional yang diadakan Departemen Pendidikan Nasional. Hasilnya, ia sukses mendapat juara satu. Ia lalu mengetesnya lagi ke Festival Film dan Video Independen Indonesia. Lagi-lagi juara.

Dari semua proyek yang pernah dikerjakan, HelloMotion menghadirkan tantangan yang terbesar. Ide kursus animasi ini awalnya hanya iseng. Adit sekadar melontarkan gagasan ke teman-temannya di milis. Tak disangka, cukup banyak orang yang tertarik. Ia pun nekat mengikuti sebuah pameran pendidikan di Jakarta. Dan benar saja, banyak orang yang mendaftar. ”Sempat bingung juga, waktu itu HelloMotion masih dalam bentuk brosur, belum punya tempat.”

Tapi, tempat bukan satu-satunya masalah. Adit juga tidak punya modal usaha. Sebenarnya, ia bisa saja meminta uang kepada orangtuanya, toh mereka cukup berada: ayahnya, Sanarto Santoso, adalah seorang profesor mikrobiologi Universitas Brawijaya, sedang ibunya, Tri Astuti, menekuni bisnis pengiriman TKI ke Hong Kong. Namun Adit berprinsip, bisnis tidak boleh manja. Jika meminjam ke orangtua, ada kemungkinan ia akan berlaku seenaknya dalam mengelola uang. Ia pun memutuskan untuk meminjam saja ke bank Rp 400 juta. Sebagian besar habis untuk sewa ruko tiga lantai di Tebet dan belanja peralatan komputer. ”Kreditnya masih dicicil sampai sekarang,” jelasnya.

Satu masalah kelar, masalah lainnya datang: Adit tidak mengerti soal bisnis. Remaja yang hobi melawak ini memang punya gen seni yang mengalir deras dalam tubuhnya. Tapi untuk urusan mengelola usaha, ia masih hijau. Untuk mengatasinya, ia pun rajin membaca buku. Teori-teori terbaru dari para pakar bisnis ia lahap, hingga membuat rak di kantornya lebih dipenuhi buku-buku bisnis ketimbang animasi. ”Meski lagi bokek, Adit tetap maksa membeli buku,” ujar Arie Octavianie, istri Adit. ”Bahkan pernah, saldo ATM-nya sudah tidak bisa diambil lagi gara-gara habis untuk belanja buku.”

Di luar padatnya kesibukan HelloMotion, Adit masih memiliki proyek pribadi: Kementerian Desain Republik Indonesia (KDRI). Ini adalah situs blog ”underground” yang berisi berbagai ide-ide liar Adit yang tak tertampung di HelloMotion. Di ruang maya inilah ia mengeksplorasi gagasan-gagasannya yang kritis. Adit, misalnya, mendesain ulang logo-logo lembaga pemerintah yang kaku, membuatnya jadi lebih energik dan sesuai semangat zaman. Simbol-simbol lama seperti pohon beringin atau padi dan kapas, jelas tak lagi dipakai, diganti dengan simbol dan permainan huruf yang lebih ngepop dan funky. Pokoknya, segala ide seputar seni visual menjadi halal di sini. ”Mimpi besar KDRI adalah menghujani Indonesia dengan desain yang baik,” ujarnya.